Kuala Enok, 21 April 2013 |
Kampung Halaman, sejauh apapun ia telah berubah
drastis dengan segala pembangunannya, selalu saja ia disebut seperti itu.
Entah, darimana istilah tentang kampung itu bermula. Sepertinya sejarah hanya
menyuguhkan kata-kata tertentu pada kita tanpa perdebatan. Mereka yang berada
di rantauan, akan menunggu momen pulang kampung. Mereka yang tengah berstatus
sebagai pelajar dan mahasiswa, selalu menunggu masa liburan agar dapat pulang
kampung. Pula, anak-anak kota yang tengah berada di daerah atau kampung
pedalaman, selalu menunggu masa untuk pulang kampung.
Pulang kampung bukan hanya bahasa yang dilekatkan
untuk mengenang tanah kelahiran, tapi serupa pula sebagai perendahan,
ketertinggalan, ketidakpencerahan, lebih jauh ketidakmodernan. Sepertinya, ada
perspektif tentang rantauan di negeri ini yang mengandung makna, menuju
pencerahan. Mereka yang jauh dari tanah kelahiran, merindukan pulang kampung
sebagai asal, sebagai titik mula dari rantauan. Pulag kampung bermakna kembali
ke asal, pulang ke titik berangkat, kembali ke awal.
Hanya saja, titik awal itu bisa jadi telah
teredusir dalam mitosnya sebagai pinggiran, sebagai bukan titik pusat melainkan
areal terluar dari pusat. Sehingga, siapapun yang melaksanakan ritual pulang
kampung, selalu saja memiliki konotasi tentang titik pulang pada
ketidaktercerahan, ke tempat awal dimana seseorang belum mengetahui apa-apa.
Pulang kampung jadinya berarti dalam kata-katanya yang amat dekat dengan
mengembangkan kampung halaman, membangun kampung asal, menerapkan pengetahuan
di negeri sendiri; dengan kalimat lain, membawa pencerahan bagi kampung
halaman.
Makanya, perspektif rantauan selalu saja bermotif
ekonomi ataupula ideologis. Ia hadir dalam spirit perubahan manusia untuk
becoming (menjadi). Dan, masa bagi pulang kampung, adalah masa titik turun,
sebuah antiklimaks dari pencerahan. Meski tidak selalu seperti itu, pulang
kampung selalu diujarkan sebagai titik asal itu, sebuah areal kecil yang berada
jauh dari posisi terkini manusia. Namun, yang menarik dari perbendaharaan
tetang pulang kampung dan rantauan, karena ia selalu menyuguhkan pada kita
tentang konsep ‘titik berangkat’, ‘tujuan’ dan ‘kembali’.
Di satu sisi, aroma khas modernitas seperti
menyelimuti konsep pulang kampung sebagai sebuah perjalanan (proses) menjadi
manusia, dari tidak tercerahkan menuju pencerahan yang dibalut dalam motif
ekonomi. Namun di sisi lain, pulang kampung dapat jadi adalah sebuah filosofi
perjalanan untuk mengenang alur melodrama hidup. Bermula dari kampung halaman
yang merupakan titik asal, menuju pada rantauan – meski tidak lagi terbelenggu
dalam term desa-kota - yang merupakan arena dipenuhi konflik dan masalah,
setelahnya klimaks tiba sebagai gagasan personal, dan antiklimaks hadir sebagai
titik turun, titik tenang, titik kembali ke asal.
Pulang kampung adalah sebuah ujung kontestasi
perjalanan drama manusia. Ia hadir sebagai puncak, sekalian sebagai awal
kembali sebelum titik cerita berikutnya. Tapi, perspektif tentang kampung
halaman dapat meluas dalam keragaman makna yang begitu sulit diprediksi
batasnya. Meski batas teritori dalam pulang kampung selalu bermakna sebagai
tempat kelahiran, kadang ia menjadi sangat politis dalam hubungan yang juga
beragam. Kadang ia hadir sebagai tanah kelahiran orang tua, tanah kelahiran
nenek, tanah kelahiran keturunan, tanah kelahiran klan, paling sering sebagai
tanah kelahiran leluhur.***
Untuk dapat terus menikmati "Gallery Photo Kuala Enok/Tanah Merah"
DONASI Anda di CONTACT